Selasa, 29 Desember 2009
Infotainment Diharamkan?
Diposting oleh Cantik Hijauku di 19.13
Di koran Kompas edisi Senin, 28 Desember 2009 kemarin, ada sebuah artikel yang berjudul menarik. PBNU mengharamkan tayangan infotainment. Keputusan PBNU itu juga didukung oleh Departemen Agama. Di koran Kompas edisi Senin, 28 Desember 2009 kemarin, ada sebuah artikel yang berjudul menarik. PBNU mengharamkan tayangan infotainment. Keputusan PBNU itu juga didukung oleh Departemen Agama.
Ini bukan sebuah kebijakan, apalagi keputusan. Sebab, sebagai sebuah organisasi agama, PBNU tidak memiliki kapasitas untuk membuat suatu public policy, alias kebijakan publik. Tataran kewenangan mereka masih mencakup saran saja, perlu legitimasi yang lebih kuat agar “pengharaman” itu dapat menjadi sebuah aturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat luas.
Namun, terlepas dari pro dan kontra PBNU mengharamkan tayangan infotainment, ada yang menarik dari pernyataan ini. Bahwasanya, wacana “pengharaman” itu serta-merta mencuat setelah seorang artis papan atas kita terlibat kasus (dugaan) pelecehan kepada awak media infotainment.
Aku tidak memihak sang artis besar atau para insan infotainment. Sebab, menurutku keduanya sama-sama salah. Wartawan infotainment sudah menyalahi ranah privacy sang artis, hingga membuat artis cantik itu jadi senewen dan tak mampu mengontrol emosinya dengan baik. Sementara, sang artis sendiri juga salah karena melontarkan pernyataan yang sangat kasar dan menyinggung perasaan.
Anyway, aku tak akan membahas permasalahan mereka. Yang ingin aku kulik saat ini hanyalah tentang topik pengharaman infotainment. Karena, menurutku sebuah lembaga agama sebesar PBNU pasti tak akan sembarangan mengeluarkan pernyataan, apalagi telah didukung oleh Depag. So, pasti pernyataan ini akan semakin menyudutkan posisi wartawan infotainment.
Menurut kompas.com, yang disebut jurnalisme adalah sebuah publikasi case yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Apabila individu / lembaga melakukan kesalahan dan mengakibatkan kerugian pada orang banyak, maka mutlak hukumnya untuk mempublikasikan berita itu. Tujuannya agar masyarakat dapat mengetahui bahwa tindakan tersebut adalah salah dan belajar dari kesalahan tersebut. Contohnya saja adalah kasus korupsi. Kasus korupsi harus diwartakan oleh seorang jurnalis karena korupsi sangat merugikan rakyat.
Sementara, pada infotainment, ranah yang digeluti oleh para awak media ini justru kebanyakan mewartakan hal-hal yang kurang bermanfaat untuk masyarakat (aku tidak bilang tidak bermanfaat loh, ya. Karena, beberapa masyarakat memang perlu tahu tentang hal-hal itu, namun persentase mereka adalah sangat kecil). Coba saja, apa pentingnya kita mengetahui penyebab perceraian artis A, gaya pacaran apa yang sering dilakoni artis B, atau koleksi benda-benda imut apa yang dimiliki oleh artis C?
Keingintahuan akan privacy orang tersebut tentu bisa membuat gerah artis yang bersangkutan. Apalagi, jika infotainment yang menguber-uber mereka itu cenderung hanya ingin mengorek keburukan atau aib seorang artis saja. Sahabat Hijau, penyebab perceraian adalah salah satu aib yang harus dijaga oleh semua orang. Bukannya diobral murah meriah gitu.
Apalagi, kebanyakan tayangan infotainment itu bersifat gosip, alias makin digosok makin sip! Suatu kabar burung dilebih-lebihkan sedemikian rupa hingga seolah menjadi suatu fakta yang sangat meyakinkan. Gosip juga erat kaitannya dengan menggunjing orang lain. Padahal Sahabat Hijau, dalam Islam, menggunjingkan orang lain itu ibarat seseorang memakan bangkai saudaranya sendiri. Hii … amit-amit, deh!
So, kalau dipikir-pikir, menonton tayangan infotainment memang lebih banyak mudharatnya ya, ketimbang manfaatnya. Waktu yang terbuang sia-sia di depan televisi bisa kita gunakan untuk sesuatu yang lebih bermanfaat dan produktif. Apalagi kita generasi muda seharusnya memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk giat berkarya daripada leha-leha duduk di depan televisi menonton gosip.
Anyway, pernyataan pengharaman infotainment adalah hak sebuah organisasi agama. Begitu juga kita, berhak untuk menolak atau menerima pernyataan tersebut. Jika tidak sreg dengan pengharaman infotainment, ya silakan terus menonton tayangan gosip-gosip itu. Namun, hendaknya kita memilih pilihan yang lebih banyak mendatangkan manfaat daripada mudharat (kerugian).
Ini bukan sebuah kebijakan, apalagi keputusan. Sebab, sebagai sebuah organisasi agama, PBNU tidak memiliki kapasitas untuk membuat suatu public policy, alias kebijakan publik. Tataran kewenangan mereka masih mencakup saran saja, perlu legitimasi yang lebih kuat agar “pengharaman” itu dapat menjadi sebuah aturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat luas.
Namun, terlepas dari pro dan kontra PBNU mengharamkan tayangan infotainment, ada yang menarik dari pernyataan ini. Bahwasanya, wacana “pengharaman” itu serta-merta mencuat setelah seorang artis papan atas kita terlibat kasus (dugaan) pelecehan kepada awak media infotainment.
Aku tidak memihak sang artis besar atau para insan infotainment. Sebab, menurutku keduanya sama-sama salah. Wartawan infotainment sudah menyalahi ranah privacy sang artis, hingga membuat artis cantik itu jadi senewen dan tak mampu mengontrol emosinya dengan baik. Sementara, sang artis sendiri juga salah karena melontarkan pernyataan yang sangat kasar dan menyinggung perasaan.
Anyway, aku tak akan membahas permasalahan mereka. Yang ingin aku kulik saat ini hanyalah tentang topik pengharaman infotainment. Karena, menurutku sebuah lembaga agama sebesar PBNU pasti tak akan sembarangan mengeluarkan pernyataan, apalagi telah didukung oleh Depag. So, pasti pernyataan ini akan semakin menyudutkan posisi wartawan infotainment.
Menurut kompas.com, yang disebut jurnalisme adalah sebuah publikasi case yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Apabila individu / lembaga melakukan kesalahan dan mengakibatkan kerugian pada orang banyak, maka mutlak hukumnya untuk mempublikasikan berita itu. Tujuannya agar masyarakat dapat mengetahui bahwa tindakan tersebut adalah salah dan belajar dari kesalahan tersebut. Contohnya saja adalah kasus korupsi. Kasus korupsi harus diwartakan oleh seorang jurnalis karena korupsi sangat merugikan rakyat.
Sementara, pada infotainment, ranah yang digeluti oleh para awak media ini justru kebanyakan mewartakan hal-hal yang kurang bermanfaat untuk masyarakat (aku tidak bilang tidak bermanfaat loh, ya. Karena, beberapa masyarakat memang perlu tahu tentang hal-hal itu, namun persentase mereka adalah sangat kecil). Coba saja, apa pentingnya kita mengetahui penyebab perceraian artis A, gaya pacaran apa yang sering dilakoni artis B, atau koleksi benda-benda imut apa yang dimiliki oleh artis C?
Keingintahuan akan privacy orang tersebut tentu bisa membuat gerah artis yang bersangkutan. Apalagi, jika infotainment yang menguber-uber mereka itu cenderung hanya ingin mengorek keburukan atau aib seorang artis saja. Sahabat Hijau, penyebab perceraian adalah salah satu aib yang harus dijaga oleh semua orang. Bukannya diobral murah meriah gitu.
Apalagi, kebanyakan tayangan infotainment itu bersifat gosip, alias makin digosok makin sip! Suatu kabar burung dilebih-lebihkan sedemikian rupa hingga seolah menjadi suatu fakta yang sangat meyakinkan. Gosip juga erat kaitannya dengan menggunjing orang lain. Padahal Sahabat Hijau, dalam Islam, menggunjingkan orang lain itu ibarat seseorang memakan bangkai saudaranya sendiri. Hii … amit-amit, deh!
So, kalau dipikir-pikir, menonton tayangan infotainment memang lebih banyak mudharatnya ya, ketimbang manfaatnya. Waktu yang terbuang sia-sia di depan televisi bisa kita gunakan untuk sesuatu yang lebih bermanfaat dan produktif. Apalagi kita generasi muda seharusnya memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk giat berkarya daripada leha-leha duduk di depan televisi menonton gosip.
Anyway, pernyataan pengharaman infotainment adalah hak sebuah organisasi agama. Begitu juga kita, berhak untuk menolak atau menerima pernyataan tersebut. Jika tidak sreg dengan pengharaman infotainment, ya silakan terus menonton tayangan gosip-gosip itu. Namun, hendaknya kita memilih pilihan yang lebih banyak mendatangkan manfaat daripada mudharat (kerugian).
Ini bukan sebuah kebijakan, apalagi keputusan. Sebab, sebagai sebuah organisasi agama, PBNU tidak memiliki kapasitas untuk membuat suatu public policy, alias kebijakan publik. Tataran kewenangan mereka masih mencakup saran saja, perlu legitimasi yang lebih kuat agar “pengharaman” itu dapat menjadi sebuah aturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat luas.
Namun, terlepas dari pro dan kontra PBNU mengharamkan tayangan infotainment, ada yang menarik dari pernyataan ini. Bahwasanya, wacana “pengharaman” itu serta-merta mencuat setelah seorang artis papan atas kita terlibat kasus (dugaan) pelecehan kepada awak media infotainment.
Aku tidak memihak sang artis besar atau para insan infotainment. Sebab, menurutku keduanya sama-sama salah. Wartawan infotainment sudah menyalahi ranah privacy sang artis, hingga membuat artis cantik itu jadi senewen dan tak mampu mengontrol emosinya dengan baik. Sementara, sang artis sendiri juga salah karena melontarkan pernyataan yang sangat kasar dan menyinggung perasaan.
Anyway, aku tak akan membahas permasalahan mereka. Yang ingin aku kulik saat ini hanyalah tentang topik pengharaman infotainment. Karena, menurutku sebuah lembaga agama sebesar PBNU pasti tak akan sembarangan mengeluarkan pernyataan, apalagi telah didukung oleh Depag. So, pasti pernyataan ini akan semakin menyudutkan posisi wartawan infotainment.
Menurut kompas.com, yang disebut jurnalisme adalah sebuah publikasi case yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Apabila individu / lembaga melakukan kesalahan dan mengakibatkan kerugian pada orang banyak, maka mutlak hukumnya untuk mempublikasikan berita itu. Tujuannya agar masyarakat dapat mengetahui bahwa tindakan tersebut adalah salah dan belajar dari kesalahan tersebut. Contohnya saja adalah kasus korupsi. Kasus korupsi harus diwartakan oleh seorang jurnalis karena korupsi sangat merugikan rakyat.
Sementara, pada infotainment, ranah yang digeluti oleh para awak media ini justru kebanyakan mewartakan hal-hal yang kurang bermanfaat untuk masyarakat (aku tidak bilang tidak bermanfaat loh, ya. Karena, beberapa masyarakat memang perlu tahu tentang hal-hal itu, namun persentase mereka adalah sangat kecil). Coba saja, apa pentingnya kita mengetahui penyebab perceraian artis A, gaya pacaran apa yang sering dilakoni artis B, atau koleksi benda-benda imut apa yang dimiliki oleh artis C?
Keingintahuan akan privacy orang tersebut tentu bisa membuat gerah artis yang bersangkutan. Apalagi, jika infotainment yang menguber-uber mereka itu cenderung hanya ingin mengorek keburukan atau aib seorang artis saja. Sahabat Hijau, penyebab perceraian adalah salah satu aib yang harus dijaga oleh semua orang. Bukannya diobral murah meriah gitu.
Apalagi, kebanyakan tayangan infotainment itu bersifat gosip, alias makin digosok makin sip! Suatu kabar burung dilebih-lebihkan sedemikian rupa hingga seolah menjadi suatu fakta yang sangat meyakinkan. Gosip juga erat kaitannya dengan menggunjing orang lain. Padahal Sahabat Hijau, dalam Islam, menggunjingkan orang lain itu ibarat seseorang memakan bangkai saudaranya sendiri. Hii … amit-amit, deh!
So, kalau dipikir-pikir, menonton tayangan infotainment memang lebih banyak mudharatnya ya, ketimbang manfaatnya. Waktu yang terbuang sia-sia di depan televisi bisa kita gunakan untuk sesuatu yang lebih bermanfaat dan produktif. Apalagi kita generasi muda seharusnya memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk giat berkarya daripada leha-leha duduk di depan televisi menonton gosip.
Anyway, pernyataan pengharaman infotainment adalah hak sebuah organisasi agama. Begitu juga kita, berhak untuk menolak atau menerima pernyataan tersebut. Jika tidak sreg dengan pengharaman infotainment, ya silakan terus menonton tayangan gosip-gosip itu. Namun, hendaknya kita memilih pilihan yang lebih banyak mendatangkan manfaat daripada mudharat (kerugian).
Ini bukan sebuah kebijakan, apalagi keputusan. Sebab, sebagai sebuah organisasi agama, PBNU tidak memiliki kapasitas untuk membuat suatu public policy, alias kebijakan publik. Tataran kewenangan mereka masih mencakup saran saja, perlu legitimasi yang lebih kuat agar “pengharaman” itu dapat menjadi sebuah aturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat luas.
Namun, terlepas dari pro dan kontra PBNU mengharamkan tayangan infotainment, ada yang menarik dari pernyataan ini. Bahwasanya, wacana “pengharaman” itu serta-merta mencuat setelah seorang artis papan atas kita terlibat kasus (dugaan) pelecehan kepada awak media infotainment.
Aku tidak memihak sang artis besar atau para insan infotainment. Sebab, menurutku keduanya sama-sama salah. Wartawan infotainment sudah menyalahi ranah privacy sang artis, hingga membuat artis cantik itu jadi senewen dan tak mampu mengontrol emosinya dengan baik. Sementara, sang artis sendiri juga salah karena melontarkan pernyataan yang sangat kasar dan menyinggung perasaan.
Anyway, aku tak akan membahas permasalahan mereka. Yang ingin aku kulik saat ini hanyalah tentang topik pengharaman infotainment. Karena, menurutku sebuah lembaga agama sebesar PBNU pasti tak akan sembarangan mengeluarkan pernyataan, apalagi telah didukung oleh Depag. So, pasti pernyataan ini akan semakin menyudutkan posisi wartawan infotainment.
Menurut kompas.com, yang disebut jurnalisme adalah sebuah publikasi case yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Apabila individu / lembaga melakukan kesalahan dan mengakibatkan kerugian pada orang banyak, maka mutlak hukumnya untuk mempublikasikan berita itu. Tujuannya agar masyarakat dapat mengetahui bahwa tindakan tersebut adalah salah dan belajar dari kesalahan tersebut. Contohnya saja adalah kasus korupsi. Kasus korupsi harus diwartakan oleh seorang jurnalis karena korupsi sangat merugikan rakyat.
Sementara, pada infotainment, ranah yang digeluti oleh para awak media ini justru kebanyakan mewartakan hal-hal yang kurang bermanfaat untuk masyarakat (aku tidak bilang tidak bermanfaat loh, ya. Karena, beberapa masyarakat memang perlu tahu tentang hal-hal itu, namun persentase mereka adalah sangat kecil). Coba saja, apa pentingnya kita mengetahui penyebab perceraian artis A, gaya pacaran apa yang sering dilakoni artis B, atau koleksi benda-benda imut apa yang dimiliki oleh artis C?
Keingintahuan akan privacy orang tersebut tentu bisa membuat gerah artis yang bersangkutan. Apalagi, jika infotainment yang menguber-uber mereka itu cenderung hanya ingin mengorek keburukan atau aib seorang artis saja. Sahabat Hijau, penyebab perceraian adalah salah satu aib yang harus dijaga oleh semua orang. Bukannya diobral murah meriah gitu.
Apalagi, kebanyakan tayangan infotainment itu bersifat gosip, alias makin digosok makin sip! Suatu kabar burung dilebih-lebihkan sedemikian rupa hingga seolah menjadi suatu fakta yang sangat meyakinkan. Gosip juga erat kaitannya dengan menggunjing orang lain. Padahal Sahabat Hijau, dalam Islam, menggunjingkan orang lain itu ibarat seseorang memakan bangkai saudaranya sendiri. Hii … amit-amit, deh!
So, kalau dipikir-pikir, menonton tayangan infotainment memang lebih banyak mudharatnya ya, ketimbang manfaatnya. Waktu yang terbuang sia-sia di depan televisi bisa kita gunakan untuk sesuatu yang lebih bermanfaat dan produktif. Apalagi kita generasi muda seharusnya memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk giat berkarya daripada leha-leha duduk di depan televisi menonton gosip.
Anyway, pernyataan pengharaman infotainment adalah hak sebuah organisasi agama. Begitu juga kita, berhak untuk menolak atau menerima pernyataan tersebut. Jika tidak sreg dengan pengharaman infotainment, ya silakan terus menonton tayangan gosip-gosip itu. Namun, hendaknya kita memilih pilihan yang lebih banyak mendatangkan manfaat daripada mudharat (kerugian).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar