Rabu, 13 Januari 2010

Kasih Ayah

Seorang pemuda mengharapkan sebuah sepeda motor sport dari ayahnya. Lantas si pemuda memberitahu keinginannya kepada ayahnya. Si ayah hanya tersenyum. Si anak bertambah yakin jika ia dapat menyelesaikan pendidikannya dengan baik, ayahnya akan membelikannya motor.

Beberapa bulan berlalu. Ternyata si anak, berkat kesungguhannya memperoleh nilai cukup cemerlang. Hatinya berbunga riang. Suatu hari, si ayah memanggil si anak. Si ayah memuji anaknya sambil menyarakan betapa bangga hati seorang bapak dengan kejayaan si anak yang cukup cemerlang. Si anak tersenyum puas. Di ruang matanya terbayang kilauan motor sport merah yang selama ini menjadi idamannya itu. Si ayah yang bagaikan mengerti kehendak si anak, mengulurkan sebuah kotak yang berbungkus rapi dan cantik.

Si anak terkesima. Sungguh, bukan ini yang diinginkannya. Dengan hati yang berat, kotak itu bertukar tangan. Matanya terarah kepada raut wajah ayahnya yang tenang, seolah-olah tidak dapat membaca tanda tanya yang bersarang di hatinya. Kemudian si anak membuka bungkus kotak itu. Penutup kotak dibuka, apa makna semua ini? Sebuah Al-Quran kecil, dengan cover kulit, tinta emas menghiasi tulisan. Si anak memandang ayahnya, terasa dirinya dipermainkan, amarahnya bangkit. Nafsu mudanya bergejolak.

“Ayah sengaja mempermainkan saya?! Ayah bukannya sudah tahu betapa saya menyukai motor merah itu?! Bukannya ayah mampu untuk membelikannya?! Sudahlah ayah, bukan Al-Quran ini yang saya mau!” katanya keras. Al-Quran itu lalu dihempaskan ke atas meja kerja ayahnya. Si anak terus meninggalkan si ayah tanpa memberi kesempatan sedikit pun untuk si ayah bersuara. Pakaiannya disiapkan ke dalam tas, lantas ia meninggalkan rumah ayahnya. Memulai hidup baru dengan sekeping ijazah yang dimilikinya.

10 tahun berlalu. Si anak kini merupakan seorang yang berharta. Punya usaha sendiri, dengan istri yang cantik dan anak-anak yang sehat. Cukup membahagiakan. Namun, hatinya tersentuh. Sudah 10 tahun sejak peristiwa itu dia tidak pernah menjenguk ayahnya. Saat dia melamunkan pikirannya mengenai masa silam tiba-tiba teleponnya berdering mengabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia semalam, dengan mewariskan hartanya kepada si anak. Si anak diminta pulang untuk menyelesaikan segala yang berkaitan dengan pewarisan harta.

Untuk pertama kalinya setelah dia berkeluarga, dia pulang ke rumah ayahnya. Sedih ia memperhatikan rumah yang menyimpan 1001 nostalgia dalam hidupnya. Hatinya bertambah sedih lagi saat dia mendapati di atas meja kerja ayahnya, Al-Quran yang dihempaskannya dulu. Bagaikan setianya hati ayahnya mengharapkan kepulangannya selama ini. Perlahan-lahan langkahnya menuju ke situ. Mengambil Al-Quran dan membukanya dengan penuh keharuan. Tiba-tiba, jatuh dari sesuatu dari Al-Quran itu.

Sebuah sampul surat ternyata diselipkan di situ. Surat itu segera dipungut. Hatinya bertanya-tanya. Nyata sekali, di dalam surat tersebut diselipkan sebuah kunci dan selembar kuitansi pembayaran sepeda motor sport idamannya yang telah dibayar lunas. Dibeli pada hari dia lulus. Sepucuk warkah, tulisan tangan orang yang amat dikenalinya selama ini. Hadiah teristimewa untuk putera kesayangannya. Air mata si anak mengalir deras. Hatinya bagai ditusuk sembilu. Penyesalan yang amat mendalam, namun semuanya sudah terlambat.

Sekadar renungan bersama, berapa banyak kita melupakan nikmat Allah hanya semata-mata karena nikmat itu tidak “dibungkus / didatangkan / diberi” dalam keadaan yang kita inginkan?

0 komentar:

Posting Komentar

Previous Post Next Post Back to Top