Senin, 21 Desember 2009

Paradoks Baru Dunia Pertama & Dunia Ketiga

Friends, paradigma "beranak" antara Negara Dunia Pertama & Negara Dunia Ketiga sungguh berbeda. (Sebenarnya aq enggan menggunakan istilah Negara Dunia Ketiga. Soalnya, penamaan itu sudah membuat sugesti tersendiri tentang betapa miskin & terbelakangnya negara kita dibanding negara-negara yang lain)
Disebut Negara Dunia Ketiga karena para pengikut paham kapitalisme memberikan diferensiasi suatu negara berdasarkan sudut pandang materi semata.
Karakteristik dari Negara Dunia Ketiga alias underdevelopment country alias negara berkembang alias negara miskin (juga) ini antara lain :
  1. Pendapatan perkapita penduduk yang masih rendah, umumnya kurang dari U$ 10/hari
  2. Tingkat kemiskinan yang tinggi
  3. Hiperinflasi
  4. Masih banyak penduduk yang belum bisa memenuhi kebutuhan primer dan sekunder dengan baik (pangan, sandang, papan)
  5. Masih banyak bayi, balita, dan anak dengan gizi buruk
  6. Persentase penduduk yang buta huruf, pendidikan rendah, masih tinggi
  7. Marak dengan masalah-masalah sosial
  8. Dll - Silakan isi sendiri
Kalo dipikir-pikir, semua ciri di atas masuk ke negara kita, Indonesia, ya? Hehehe ...
Anyway, untuk karakteristik Negara Dunia Pertama justru kebalikan dari semua karakteristik Negara Dunia Ketiga ini. Masyarakatnya maju dan sejahtera, kebutuhan primer & sekunder terpenuhi dengan baik - bahkan mereka sangat bisa memenuhi kebutuhan tersier & komplementer mereka, tingkat buta huruf nyaris 0%, semuanya melek teknologi, gizi tercukupi dengan baik. Hmm ... ironi yang aneh. Jadi, siapa sebenarnya yang Gemah Ripah Loh Jinawi? Bumi Rempah Indonesia apa Negara Uncle Sam?
Perbedaan-perbedaan tersebut juga muncul dalam perspektif mereka seputar anak. Kita lihat sendiri bagaimana penduduk Indonesia dengan sangat "rajin" melahirkan anak setiap tahunnya. Fenomena ini makin marak justru di kalangan menengah ke bawah Indonesia - yang seyogyanya mengerem kelahiran anak karena tingkat ekonomi mereka yang masih rendah.
Banyak anak banyak rejeki. Itu jargon yang sangat salah kaprah di masyakat Indonesia. Akibat dari cara pandang yang keliru itu, seorang ibu dengan rela hati melahirkan sebuah tim kesebelasan sepak bola keluarga plus pemain cadangannya sekalian. Di masyarakat Jawa kuno - sebenarnya sampai sekarang masih ada, sih, di daerah-daerah pedesaan - seorang ibu bisa melahirkan hingga 9-13 anak. Wow!
Khusus untuk Indonesia, fenomena ini justru muncul dengan gencar di kalangan menengah bawah Indonesia. Itu bisa disebabkan karena akses hiburan masyarakat miskin terbatas. Jangankan mo pergi ke mall tiap minggu, atau ke Ragunan tiap bulan, bisa makan tiga kali sehari saja sudah syukur alhamdulillah. Bandingkan dengan para orang kaya yang rajin menghamburkan uang ke tempat-tempat liburan dan pelesir mewah. Stress dikit mereka langsung shopping ke Singapura, mumet dikit mereka relaksasi di spa. Hmm ...
Bisa dibayangkan, karena akses hiburan yang sangat terbatas ini, masyarakat miskin lantas mencari alternatif pelesir yang lain. Solusinya adalah kehidupan seksual yang sangat aktif dan tak dilandasi pemikiran untuk mengerem laju kelahiran anak. Akibatnya sudah sangat jelas. Anak semakin banyak yang lahir dan tak didukung dengan kemampuan finansial yang cukup untuk menghidupi anak-anak itu.
Sekarang, mari kita tengok negara-negara Dunia Pertama. Anak dianggap sesuatu yang sangat merepotkan dan mahal. Seorang wanita enggan melahirkan anak karena dianggap bisa merusak karier, hidup, dan tubuh mereka. Seorang laki-laki enggan bertanggungjawab mengurus anak karena bagi mereka anak adalah sesuatu yang sangat merepotkan. Walhasil, jumlah penduduk asli negara-negara maju tersebut makin tahun makin menyusut - beda dengan Indonesia yang makin tahun makin bertambah.
Saking "emohnya" para wanita ini melahirkan anak, pemerintah setempat sampai mengumumkan akan memberikan uang tunai dalam jumlah sangat besar jika sebuah keluarga mau memiliki anak lebih dari satu. Jepang dan Singapura adalah dua negara yang telah menerapkan program ini untuk menjaga kelangsungan klan mereka. Nyatanya, laju pertumbuhan penduduk mereka masih tetap rendah.
Jadi berpikir (aneh), nih. Setelah sukses mengekspor para pahlawan devisa ke Malaysia, Hongkong, Arab, dll, kenapa kita tidak sekalian saja mengekspor BPI (Bayi Produksi Indonesia). Daripada terlunta-lunta hidup di negeri sendiri, akan lebih baik jika mereka diadopsi oleh para ekspatriat kaya negeri tetangga. Menarik, bukan?

0 komentar:

Posting Komentar

Previous Post Next Post Back to Top