Sabtu, 26 Desember 2009

Bobot, bibit, bebet

Dilema cewek kampung seusiaku adalah terus dicecar pertanyaan “Kapan kawin?”. Sebel banget kalo orang-orang terdekat yang udah lama nggak jumpa, sering jumpa, & tak pernah jumpa always menanyakan pertanyaan itu-itu aja. Mo dijawab “Maybe yes, maybe no”, langsung dapet pelototan Emak, dituduh nggak sopan sama orang tua. Mo dijawab jujur juga bingung gimana harus jawabnya. Niat nggak jawab, eh, itu gerombolan penanya justru makin getol tanya-tanya yang ujung-ujungnya (sumpah!) bikin aku bete abis!
Gimana nggak bete, coba? Jodoh di tangan Tuhan. Mosok kita mo mendahului kersane Gusti Allah? Bisa kualat aku nanti. Tuhan saja masih belum mengeluarkan ijin kawin, masak aku udah seenak udelku sendiri menentukan kapan aku akan nikah, kawin, punya anak, dan dapet cucu?
Paling sebel bin bete lagi, jika Emak udah bikin meeting singkat di sore hari dan malam hari, yang isinya memberikan nasehat gimana nanti aku harus calon suami yang baik dan benar untuk masa depanku kelak.
Satu hal yang mem-bete-kan diriku adalah jika Emak udah menyinggung-nyinggung soal bibit, bobot, bebet. Keturunan, pekerjaan, dan kualitas diri harus sangat diperhitungkan dalam memilih jodoh. Oke, sih, aku setuju soal itu. Hanya orang gila yang dengan rela hati menerima lamaran seorang pemadat, pemaling, dan pepoligami. Please, deh!
Hanya, aku sangat tidak setuju jika permasalahan bibit, bobot, dan bebet itu dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat materi. Misalnya, “Nduk, kamu harus suami yang anak orang kaya, pekerjaannya mapan, gajinya mampu bikin kamu hidup makmur sejahtera dan sentosa, dan perilakunya sangat baik.”
Yaelah, Emak, di surga entar baru aku ketemu sama suami se-perfect itu (oops … sorry, Emak, jangan mengutuk aku jadi orang jelek, ya, kalo aku bete sama Emak).
Permasalahannya sekarang adalah, materi memang sangat diperhitungkan dalam kehidupan duniawi kita. Mengalahkan kehidupan akherat kelak – padahal Nabi jelas-jelas mengatakan bahwa kita hidup di dunia ini hanya sekedar numpang minum air plus cari bekal sebanyak-banyaknya buat tabungan akherat nanti.
Permasalahan materi ini juga merambah ranah perjodohan. Lihat saja, banyak orang tua yang menikahkan putra dan putrinya dengan seseorang yang berkecukupan dari segi materi atau berasal dari keluarga terpandang. Jarang dari orang tua-orang tua tersebut yang berniat mencarikan jodoh anaknya berdasarkan kebagusan akhlaknya dan keelokan agamanya.
Aku setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa hidup di dunia itu butuh uang. Tapi, aku tidak setuju jika “butuh uang” itu diprioritaskan di tingkat atas hingga mengabaikan nilai-nilai keluhuran budi yang menjadi fitrah manusia. Bayangan para orang tua, jika anakku kelak menikah dengan orang yang kaya dan dari keluarga terpandang, hidup anakku kelak pasti akan bahagia.
Padahal sodara-sodara, tak ada satu jaminan pun jika uang, harta, dan kedudukan bisa membuat kita bahagia. Banyak selebritis yang kawin cerai padahal dari segi materi mereka sangat berkecukupan. Bahkan, tak jarang kita temui orang-orang yang berduit justru sangat rajin selingkuh.
Beda dengan pasangan suami-istri yang hidup sederhana. Mereka adalah orang-orang yang pandai bersyukur dan nyatanya, kehidupan perkawinan mereka justru langgeng hingga kakek-nenek.
Bobot, bibit, bebet adalah hal yang sangat kubenci dari kultural Jawa kita. Padahal, Islam jelas-jelas sudah menyuruh umatnya untuk mencari pasangan hidup yang paling bagus akhlaknya, bukan yang paling kaya atau yang paling cantik.
Selama kita mau berusaha dan bekerja keras, rejeki pasti akan datang dengan sendirinya. Jadi, persoalan bobot, bibit, bebet sebagai tolok ukur kebahagiaan seseorang adalah hal yang sangat menggelikan sekali.

2 komentar:

Cantik Hijauku mengatakan...

test drive ...

Anonim mengatakan...

saya sangat setuju mbak.. :)

Posting Komentar

Previous Post Next Post Back to Top