Jumat, 25 Desember 2009

Moral Hilang

Pak Bijak dan Bu Santun bingung. Sudah seminggu ini, Moral, anak semata wayangnya berubah sikap secara misterius. Moral yang semula riang dan ceria tiba-tiba murung dan pendiam. Celoteh-celotehnya menghilang diganti kesunyian yang pekat. Nafsu makannya menurun drastis dan semangatnya untuk bersekolah sudah mulai meluntur.

Kondisi Moral yang memprihatinkan membuat Bu Santun bersedih. Dengan seijin Pak Bijak, ia membawa Moral ke seorang dokter. Tidak tanggung-tanggung, dokter yang mereka tuju adalah dokter terbaik di Bumi Rempah ini. Biaya jasanya sungguh mahal. Namun, uang tak menjadi soal bagi Bu Santun asalkan anaknya Moral kembali sehat dan ceria seperti sedia kala.

Jadilah di sore hari yang panas itu mereka bertiga pergi mengunjungi tempat praktek Dokter Budiman. Di depan pintu gerbang mereka terbengong-bengong. Tempat praktek Dokter Budiman sungguh megah luar biasa. Pintu-pintunya terbuat dari baja kualitas terbaik yang dilapis perak, kaca-kacanya anti peluru dan berwarna sangat gelap, tak seorang pun bisa menengok ke dalamnya meski penerangan di dalam ruang praktek sangat terang, lantainya dari keramik yang sangat mengkilap hingga Bu Santun bisa mengaca di atasnya, sofa-sofa empuk berjajar rapi di ruang tunggu, beberapa wanita cantik berseragam merah marun tampak berseliweran mengantarkan pasien masuk ke ruang dokter atau sekedar mengantarkan makanan dan minuman yang dipesan oleh keluarga pasien. Di lobi sederet resepsionis cantik menyambut kedatangan calon pasien dengan ramah dan penuh senyum.

Di atas meja lobi terdapat papan kecil bertuliskan “ORANG MISKIN DILARANG MASUK!”. Moral terhenyak membaca papan pengumuman itu, dan semakin terhenyak melihat orang-orang sakit yang duduk manis di sofa ruang tunggu. Tangan mungilnya mencengkeram erat lengan baju ibunya saat kedua orang tuanya membawanya mendaftar di resepsionis. Bibir kecilnya bergetar dan memucat mendengar erangan-erangan kesakitan dari calon “teman-teman” barunya.

“Selamat pagi, Ibu, Bapak, ada yang bisa dibantu?”

“Iya, Mbak. Ini anak saya sakit. Sudah seminggu ini dia tak nafsu makan dan kerjaannya mengurung diri terus di kamar.”

“Mohon maaf, Bapak. Bisa anda memperlihatkan kartu jaminan sosialnya?”

Pak Bijak dengan cepat membuka dompet dan mengeluarkan selembar kartu plastik dengan barcode di atasnya. Resepsionis dengan cekatan men-scan barcode dan mengetik di komputer. Setelah memeriksa data diri keluarga Pak Bijak, resepsionis itu dengan ramah mengembalikan kartu jaminan sosial Pak Bijak.

“Mohon maaf, Bapak. Menurut data di komputer rekening anda tidak mencukupi untuk melakukan pembayaran perawatan di Dokter Budiman. Jika Bapak mau, saya akan merekomendasikan nama-nama dokter bertarif murah yang bisa bapak datangi.”

“Tapi saya ingin Dokter Budiman yang mengobati anak saya, Mbak.”

“Kalau begitu, mohon Bapak menunjukkan sumber dana yang lain. Agar kami bisa memproses perawatan anak Bapak.”

Pak Bijak termangu mendengar ucapan resepsionis. Ia berpandangan cukup lama dengan Bu Santun sebelum membuka tas kecil yang sedari tadi dikepitnya di bawah ketiak. Dibukanya tas kumal hasil hadiah peringatan tujuh belas Agustusan di kampungnya dan menunjukkan isinya pada resepsionis.

“Saya hanya punya ini, Mbak.”

Jemari lentik resepsionis dengan cepat menghitung lembaran uang di dalam tas. Wajahnya masih tersenyum saat mengambil segepok uang dari dalam tas dan memasukkannya ke laci kasir.

“Silahkan, Bapak. Ini nomor urutnya. Dan ini kuitansi yang harus Bapak tandatangani.”

Moral melirik kertas putih yang dipegang bapaknya. Meski masih kecil, tapi ia sudah paham membaca angka. Deretan tujuh angka yang tertera di kertas putih itu membuatnya mual. Serta-merta ia membungkuk dan memuntahkan isi perutnya yang kebanyakan hanya berupa air itu. Bu Santun dengan terkejut buru-buru membersihkan bekas muntahan anaknya. Sementara resepsionis hanya tersenyum simpul tanpa menggerakkan tangan dan tubuhnya untuk membantu Bu Santun.

“Bagaimana dengan uang sewa rumah kita, Pak? Mbak yang tadi sudah mengambil seluruh uang kita. Padahal di sana juga ada uang untuk bayar sewa rumah dan biaya sekolah Moral.”

“Sudahlah, Bu. Uangnya kita cari lagi nanti. Yang penting Moral sembuh dulu.”

“Untung anak kita bisa ditangani Dokter Budiman, ya, Pak? Aku ndak mau dokter lain yang mengobati anak kita. Harus Dokter Budiman.”

“Iya … iya … semoga saja Moral bisa sembuh setelah diobati Dokter Budiman.”

“Nuwun sewu, Pak? Panjenengan pikantuk nomer antrian pinten nggih?”

“Oh, saya dapat nomor 102, Pak.”

“Begini, Pak. Rencang kula niki sampun badhe semaput. Awake wes lemes sanget, Pak …?”

“Pak Bijak!”

“Inggih, Pak Bijak. Dados pripun menawi kula lintu nomer kaliyan panjenengan?”

Pak Bijak melirik nomor antrean yang dipegang laki-laki tua di sebelahnya. 156. Cukup jauh dari nomornya. Melihat wajah ragu Pak Bijak, laki-laki tua itu mengeluarkan dompetnya dan memberikan seluruh lembar uang merah yang ada di dalamnya pada Pak Bijak. Pak Bijak terkejut dengan tindakan laki-laki tua itu.

“Menika nopo, Pak?” Pak Bijak mengembalikan lembaran-lembaran uang itu pada laki-laki di sampingnya. Tapi dia menolaknya.

“Sampun, Pak. Niku damel lintu nomer.”

“Tapi …”

“Sampun, boten menopo-menopo. Kula ikhlas, kok.”

“Sudah, Pak. Diterima saja. Uang itu bisa buat bayar sewa rumah dan sekolah Moral. Sepertinya Moral juga masih bisa tahan, kok.”

Akhirnya nomor 102 itu berganti jadi 156. Bu Santun segera menghitung uang yang baru saja diperolehnya sementara Pak Bijak termangu menatap kepergian laki-laki tua itu.

“Ada enam belas lembar, Pak. Wah, masih ada sisa untuk beli makanan.”

Pak Bijak menatap wajah sumringah Bu Santun, lalu berganti menatap wajah pucat Moral. Batinnya bertanya-tanya namun tak mampu ia menjelaskan pertanyaan itu.

“Ibu …”

“Ya, Moral? Ibu di sini, Nak.”

“Moral ndak mau dirawat sama Dokter Budiman.”

“Loh, kenapa, Nak? Dokter Budiman dokter yang baik, loh.”

“Ndak … ndak …Kata Putri, Dokter Budiman itu jahat.”

“Putri yang teman satu sekolahmu itu?”

“Iya, Bapak. Putri bilang, Dokter Budiman kena sakit pedofilia. Setelah dirawat Dokter Budiman, Putri justru makin sakit, Bapak.”

“Loh, Pak? Mosok dokter iso lara? Pedofilia iku lara opo to, Pak?”

“Wah, aku yo ora ngerti, Bu. Tapi namanya bagus, yo? Pedofilia.”

“Iyo, Pak, bagus. Pasti penyakitnya keren itu. Lah wong namanya juga keren.”

“Pokoknya Moral ndak mau dirawat sama Dokter Budiman!”

“Kamu harus, Nak! Berobat di sini itu mahal. Apa kamu tak kasihan sama Bapakmu yang sudah keluar uang banyak untuk kamu berobat?”

“Kita cari dokter lain saja, ya, Bu? Moral takut sama Dokter Budiman.”

“Loh, Nak, kamu itu lucu. Mosok belum kenal Dokter Budiman sudah takut duluan?”

“Pokoknya Moral ndak mau dirawat sama Dokter Budiman!”

“Moral bin Bijak!”

“Nah, itu, Nak, namamu sudah dipanggil. Ayo, cepat masuk!”

“Ndak mau! Pokonya ndak mau!”

“Kamu itu, kok, ya keras kepala? Sudah, ayo cepat masuk! Ditunggu orang banyak ini, loh!”

“Ndak mauuuuu ….. !!!”

“Moral, ayo masuk!”

Sekuat tenaga Bu Santun menarik tangan Moral yang erat-erat memegang tepian tembok. Pak Bijak juga turut memaksa. Mendapat perlawanan dari dua orang dewasa, tangan kecil Moral akhirnya terlepas juga. Ia terus meronta-ronta dan menangis. Raungan tangisnya memecah kesunyian ruang tunggu itu. Semua mata menoleh melihat seorang anak kecil yang menangis keras di antara ibu bapaknya. Mereka hanya menoleh untuk sesaat kemudian kembali pada kesibukannya masing-masing. Tak mempedulikan tangisan mengiba Moral.

“Selamat sore, Moral? Wah, nama yang bagus, ya?”

“Selamat sore, Dokter Budiman. Ini anak saya, Moral. Tolong diperiksa, ya?”

“Baiklah, ayo Moral, ikut Om Dokter ke belakang.”

“Loh, periksanya tidak di sini, Dokter?”

“Maaf, Pak. Anak kecil mendapat ruang periksa khusus. Ini untuk mengurangi ketakutan dan rasa sakit si kecil.”

Dokter Budiman membawa Moral ke belakang. Pak Bijak dengan hati was-was menatap pintu kayu jati yang tertutup di hadapannya. Sementara Bu Santun melihat-lihat koleksi obat yang terpajang rapi di rak kaca.

Dua puluh menit kemudian Dokter Budiman keluar sambil menggandeng Moral. Raungan anak kecil itu sudah hilang, berganti dengan isak satu-dua. Langkah kaki kecil Moral terlihat aneh. Wajah Dokter Budiman tersenyum puas. Pak Bijak mengerutkan dahi cemas.

“Baik, Pak, ini obat yang harus dibeli. Silahkan …”

“DOKTER BUDIMAN JAHAT!!!!!”

Moral tiba-tiba berteriak kencang. Mata kecilnya nanar menatap wajah sang dokter. Pak Bijak terkejut. Ia melihat wajah lugu anaknya dan terperanjat kaget. Tanpa mampu menggerakkan tubuh, ia membiarkan putra semata wayangnya berlari keluar ruang praktek. Ia membiarkan istrinya mengejar buah hati mereka. Sampai beberapa menit kemudian, Bu Santun kembali dengan napas ngos-ngosan.

“Pak Bijak, Moral menghilang ….”

0 komentar:

Posting Komentar

Previous Post Next Post Back to Top