Jumat, 25 Desember 2009

Edensor

Minggu ini target baca bukuku adalah mengkhatamkan Tetralogi Laskar Pelangi. Alhamdulillah, target tercapai dengan sukses. Nah, friends, sekarang aku ingin bagi-bagi opiniku tentang tetralogi novel yang luar biasa ini.
Tetralogi Laskar Pelangi terbagi dalam 4 judul novel – ya iyalah, namanya juga tetralogi. Hehehe … Yang pertama berjudul Laskar Pelangi, lalu Sang Pemimpi, Edensor, dan terakhir Mimpi-mimpi Lintang, Maryamah Karpov. Dari empat judul di atas, Laskar Pelangi dan Edensor adalah novel yang kutahbiskan sebagai novel paling menarik.

Laskar Pelangi membuatku bersemangat untuk menyelesaikan kuliah yang terus tertunda. Maklum saja, setan skripsi yang luar biasa menyeramkannya membuatku langsung dihinggapi virus malas dan ogah-ogahan mengerjakannya. Sampai deadline sidang yang harusnya sudah terjadi setahun lalu, molor jadi dua semester.
Kedua, soal Edensor. Ini adalah judul yang paling menarik (menurutku). Alasannya simpel saja, karena Edensor bisa membuatku “bermimpi”.
Tema dari tetralogi Andrea Hirata memang “bermimpi”. Andrea seolah ingin menyatakan bahwa, mimpi adalah jalan terbesar kita untuk berubah. Bayangkan saja, dari seorang anak kampung super udik, dengan lingkungan yang masih sangat jauh terjamah oleh teknologi, mereka bisa berubah jadi seorang sarjana program Master lulusan universitas negeri, luar negeri pula! Bayangkan saja, mereka hanya meraihnya dengan mimpi dan mewujudkannya melalui kerja keras.
Belum cukup itu saja. Setiba di Perancis, mereka juga masih nekat bermimpi keliling dunia. Especially for Ikal, mimpinya untuk menjelajahi Benua Eropa dan Afrika juga dibumbui dengan impian mengejar sang gadis tercinta. Terbukti, impian itu sukses mereka lakoni.
Meski pada awalnya banyak yang mencemooh rencana mereka untuk kuliah di Perancis, nyatanya mereka mampu mewujudkan impian mereka itu. Sungguh, suatu hal yang indah saat membaca novel Edensor ini.
Impian adalah satu kata yang sekarang semakin lama semakin jauh dari benak kita. Seiring majunya teknologi, perkembangan jaman yang sangat pesat, arus globalisasi yang melahirkan individu-individu yang simpel dan praktis, impian seolah hal yang sangat utopis (alias tak akan mungkin terjamah oleh manusia. Ibarat dunia di atas angin yang sangat utopis, impian bagi manusia modern juga seperti itu).
Semakin dewasa kita, semakin jarang kita bermimpi. Hidup adalah realita adalah jargon yang sangat deras didengungkan oleh masyarakat modern dewasa ini. Dan, realita itu sangat kejam, tak akan bisa dihadapi hanya dengan bermimpi. Akibatnya, para pemimpi makin punah populasinya.
Sekarang hidup adalah untuk mengejar materi. Bekerja eight to five, mendapat gaji tetap setiap bulannya, promosi jabatan setiap beberapa bulan sekali. Semuanya seolah stagnan, membosankan. Nyaris tak ada lagi semangat dalam diri manusia dalam menjalani hidup. Mau tahu buktinya? Tengok saja wajah orang-orang kantoran yang bangun di pagi hari. Pasti jarang dari mereka yang tersenyum. Paling sering juga wajah super masam seperti habis menelan seribu ton jeruk mentah. Hehehe …
Para pemimpi seolah tak mendapat tempat di bumi gemah ripah loh jinawi ini. Impian dan harapan dibabat habis secara sewenang-wenang oleh para penguasa yang mementingkan kepentingan sekelompok orang. Orang miskin bermimpi jadi kaya, ditertawakan. Anak bodoh bermimpi jadi pandai, dicemooh. Kaum multi gender (bahasa halus untuk para banci) bermimpi jadi cewek, dihujat habis-habisan.
Lalu, bagaimana kita bisa jadi bangsa yang maju jika setiap impian kita dikebiri habis-habisan oleh lingkungan? Dan, kita langsung patah semangat hanya gara-gara satu impian kecil kita ditertawakan oleh banyak orang.
Tengoklah bagaimana negara-negara maju bisa jadi besar seperti sekarang. William Sang Penakluk hanya bermimpi untuk memperluas wilayah jajahannya, akibatnya lahirlah Inggris hasil tangan dingin William yang sekarang termasyur dengan para pujangga besarnya. Atau, Bill Gates, orang terkaya nomor satu dunia, yang bermimpi untuk menjadi kaya. Dan, dia berhasil mewujudkan impiannya itu.
Bangsa yang bermimpi adalah bangsa yang maju. Seperti slogan salah satu produk rokok yang sering terpampang di baliho pinggir jalan. Think Big if You Want to be Big! Impian besar juga akan melahirkan kesuksesan yang besar pula.
Nah, si Edensor ini berhasil mendeskripsikan dengan sangat indah betapa asyiknya bermimpi. Meski kaki harus terluka karena menginjak kerikil-kerikil kehidupan yang tajam, nyatanya impian mampu menyembuhkan sakit akibat tusukan kerikil itu. Jika kita melihat dengan kacamata logika, mana mungkin seorang anak kampung miskin seperti Arai dan Ikal akan mampu menginjakkan kaki di Perancis? Apalagi ditambah bonus keliling Benua Eropa dan menjejakkan kaki di Afrika.
That’s impossible! Itu pasti yang ada di benak kita semua. Tapi, coba kita ubah perspektif kacamata hidup kita. Jika kita melihat cita-cita Ikal dan Arai melalui kacamata pemimpi, pasti niat luhur bin nekat mereka dapat terlaksana dengan mudah.
Indonesia memang butuh banyak penulis motivator seperti Andrea Hirata. Agar masyarakat kita – yang mayoritas dihuni oleh kaum marginal – lebih giat bermimpi dan lebih cerdas mewujudkan impiannya.
So, jangan takut untuk bermimpi!

0 komentar:

Posting Komentar

Previous Post Next Post Back to Top