Rabu, 13 Januari 2010
Budaya Membaca
Diposting oleh Cantik Hijauku di 18.20
Lama tidak mem-posting segmen Buku. Tulisan kecil ini semoga bisa jadi pengobat rindu.
Dua minggu lalu saya menonton film Inkheart. Film besutan Hollywood itu dibintangi oleh Brendan Fraser. Cerita ringkasnya, si mas Brendan Fraser ini adalah seorang Lidah Perak, orang yang bisa memuncul tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian dalam buku setiap kali dia membacanya dengan suara keras. Nah, gara-gara bakatnya yang unik itu, dia mengalami petualangan seru dan menegangkan dengan Capricorn dan The Shadow, dua tokoh antagonis dalam novel Inkheart yang dibacanya. Sekaligus dia harus kehilangan istri tercintanya gara-gara sang istri masuk ke dalam buku sebagai akibat dari Capricorn yang keluar dari buku. Mas Brendan Fraser berusaha keras mengeluarkan istrinya dari buku sekaligus melawan kejahatan Capricorn yang ngotot tak mau balik ke dunia buku.
Ini film yang saya rekomendasikan untuk ditonton akhir pekan bersama keluarga. Filmnya bagus dan menyenangkan, meski ending-nya mudah ditebak. Tapi, efek dan alur ceritanya sungguh luar biasa. Dan, tentu saja pesan moral yang ada dalam film ini sangat banyak, loh.
Balik lagi ke segmen Buku kita. Ada salah satu kalimat dari Bibi Brendan Fraser yang sangat saya suka. Kutipannya begini, nih.
“Aku sudah pergi ke berbagai tempat di seluruh dunia, bahkan hingga negeri antah berantah. Bertemu dengan para sultan dan jin penjaga lampu. Mengunjungi tempat-tempat menarik. Semuanya bisa kulakukan hanya dengan membaca buku.”
Teman, bukan karena hobi saya membaca buku hingga saya mem-posting tulisan ini. Tapi, saya ingin berbagi pengalaman hasil dari perburuan mata saya terhadap huruf-huruf mungil di buku yang telah saya baca.
Ungkapan di atas memang tidak salah. Saya memang bisa mengunjungi berbagai tempat menarik di dunia hanya dengan duduk manis di atas kursi rumah sambil memelototi sebuah buku. Saya tak perlu jauh-jauh pergi ke Tokyo hanya untuk melihat Harajuku, daerah bagi para fashionista Jepang. Harajuku-lah yang kelak melahirkan style Harajuku yang banyak digandrungi para remaja seluruh dunia. Atau, tak perlu jauh-jauh pergi ke Selandia Baru hanya untuk melihat Festival Seni Nelson.
Semuanya bisa saya ketahui hanya dengan membaca buku. Bayangkan, berapa rupiah yang bisa dihemat untuk berkeliling seluruh dunia? n-n
Membaca buku sudah jadi kebiasaan dalam keluarga saya. Terima kasih untuk almarhum Bapak yang telah menanamkan jiwa gemar membaca sejak umur saya masih tiga tahun. Surprise juga guru TK saya melihat kondisi saya yang sudah fasih membaca sementara teman-teman saya yang lain masih kebingungan membaca kalimat-kalimat panjang dan paragraf yang gemuk.
Kebiasaan membaca ini juga sangat menolong saya di masa kuliah. Pasti teman-teman sudah tahu, sebanyak apa buku literatur yang harus kita baca di periode kehidupan kuliah. Beruntunglah saya karena suka membaca, sebab buku setebal apapun bisa dengan entengnya saya habiskan tanpa perasaan tertekan sama sekali. Beda dengan teman saya yang wajahnya seperti orang makan empedu ayam tiga kilo setiap dosen memberikan tugas membaca dan membuat referensi.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan bisa diperoleh (salah satunya) dengan membaca buku. Jadi, tak ada keraguan untuk menambah wawasan dengan membaca buku.
Belakangan saya sangat “terharu” mengetahui minat membaca teman-teman saya yang masih rendah. Beberapa minggu silam saya iseng mengadakan survey tentang kebiasaan membaca buku di kalangan pelajar SMA dan mahasiswa. Hasilnya, wow! Sungguh mengecewakan. Jangankan membaca buku, melihat headline news koran saja mereka sudah tak sempat. Mereka lebih mengandalkan internet dan televisi untuk mendapatkan sumber berita ketimbang membaca buku dan menelaah isinya.
Efek visual memang lebih menarik minat mata-mata muda itu ketimbang huruf-huruf hitam yang tercetak di lembaran buku.
Kondisi ini sungguh berbeda dengan keadaan beberapa negara di belahan dunia yang lain. Saya memiliki beberapa teman dari luar negeri yang rajin berkorespondensi melalui email dan chatting dengan saya. Menurut mereka, membaca sudah bukan hal yang aneh lagi bagi mereka. Bahkan, perpustakaan pribadi sudah banyak terdapat di rumah-rumah perorangan. Seorang teman saya di Jepang bahkan mengirimkan beberapa foto yang menggambarkan kondisi dalam kereta menuju ke Shibuya. Di sana orang-orang dengan tekun membaca buku, tak peduli suasana kereta yang sedang penuh orang atau tidak. Menurut teman saya tadi, buku saku (alias buku berukuran kecil yang bisa dimasukkan ke dalam tas) laris manis di sana. Itu karena buku saku bisa dibawa ke mana-mana.
Sementara di (tak usah jauh-jauh, deh!) daerah saya sendiri, budaya membaca buku nyaris tak ada sama sekali. Perpustakaan daerah lebih banyak tutupnya ketimbang bukanya. Para pelajar lebih suka men-download data dari internet, untuk kemudian mem-paste-nya, sebagai tugas sekolah mereka. Orisinalitas karya patut dipertanyakan mengingat jarang dari mereka yang menulis dengan pikiran sendiri, melainkan lebih sering meng-copy paste data dari internet.
Yang lebih lucu lagi adalah alasan beberapa mahasiswa yang saya temui dan menjadi sumber survey saya. Mereka jarang membaca buku karena tak punya dana untuk membeli buku. Padahal setiap minggu mereka rajin hunting baju-baju mahal di toko baju. Sungguh suatu ironi. Apa untuk menjadi pintar kita harus membeli buku? Dan, apa harga sebuah buku sudah lebih mahal ketimbang harga sehelai rok dan kaos?
Memang tidak pada tempatnya jika saya men-judge mereka semua. Karena, resesi ekonomi yang berkepanjangan membuat setiap orang harus pintar-pintar mengatur keuangannya agar tak sampai kolaps dan kelaparan. Tapi, bukan berarti biaya hidup yang semakin tinggi lantas membuat kita lupa untuk menjadi pintar. Tak ada dana membeli buku bukan berarti lantas kita tak menggiatkan budaya gemar membaca buku.
Ada banyak solusi yang bisa dimunculkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui buku. Masalahnya adalah, apakah generasi muda tersebut mau dan dengan senang hati menerima solusi-solusi tersebut?
Dua minggu lalu saya menonton film Inkheart. Film besutan Hollywood itu dibintangi oleh Brendan Fraser. Cerita ringkasnya, si mas Brendan Fraser ini adalah seorang Lidah Perak, orang yang bisa memuncul tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian dalam buku setiap kali dia membacanya dengan suara keras. Nah, gara-gara bakatnya yang unik itu, dia mengalami petualangan seru dan menegangkan dengan Capricorn dan The Shadow, dua tokoh antagonis dalam novel Inkheart yang dibacanya. Sekaligus dia harus kehilangan istri tercintanya gara-gara sang istri masuk ke dalam buku sebagai akibat dari Capricorn yang keluar dari buku. Mas Brendan Fraser berusaha keras mengeluarkan istrinya dari buku sekaligus melawan kejahatan Capricorn yang ngotot tak mau balik ke dunia buku.
Ini film yang saya rekomendasikan untuk ditonton akhir pekan bersama keluarga. Filmnya bagus dan menyenangkan, meski ending-nya mudah ditebak. Tapi, efek dan alur ceritanya sungguh luar biasa. Dan, tentu saja pesan moral yang ada dalam film ini sangat banyak, loh.
Balik lagi ke segmen Buku kita. Ada salah satu kalimat dari Bibi Brendan Fraser yang sangat saya suka. Kutipannya begini, nih.
“Aku sudah pergi ke berbagai tempat di seluruh dunia, bahkan hingga negeri antah berantah. Bertemu dengan para sultan dan jin penjaga lampu. Mengunjungi tempat-tempat menarik. Semuanya bisa kulakukan hanya dengan membaca buku.”
Teman, bukan karena hobi saya membaca buku hingga saya mem-posting tulisan ini. Tapi, saya ingin berbagi pengalaman hasil dari perburuan mata saya terhadap huruf-huruf mungil di buku yang telah saya baca.
Ungkapan di atas memang tidak salah. Saya memang bisa mengunjungi berbagai tempat menarik di dunia hanya dengan duduk manis di atas kursi rumah sambil memelototi sebuah buku. Saya tak perlu jauh-jauh pergi ke Tokyo hanya untuk melihat Harajuku, daerah bagi para fashionista Jepang. Harajuku-lah yang kelak melahirkan style Harajuku yang banyak digandrungi para remaja seluruh dunia. Atau, tak perlu jauh-jauh pergi ke Selandia Baru hanya untuk melihat Festival Seni Nelson.
Semuanya bisa saya ketahui hanya dengan membaca buku. Bayangkan, berapa rupiah yang bisa dihemat untuk berkeliling seluruh dunia? n-n
Membaca buku sudah jadi kebiasaan dalam keluarga saya. Terima kasih untuk almarhum Bapak yang telah menanamkan jiwa gemar membaca sejak umur saya masih tiga tahun. Surprise juga guru TK saya melihat kondisi saya yang sudah fasih membaca sementara teman-teman saya yang lain masih kebingungan membaca kalimat-kalimat panjang dan paragraf yang gemuk.
Kebiasaan membaca ini juga sangat menolong saya di masa kuliah. Pasti teman-teman sudah tahu, sebanyak apa buku literatur yang harus kita baca di periode kehidupan kuliah. Beruntunglah saya karena suka membaca, sebab buku setebal apapun bisa dengan entengnya saya habiskan tanpa perasaan tertekan sama sekali. Beda dengan teman saya yang wajahnya seperti orang makan empedu ayam tiga kilo setiap dosen memberikan tugas membaca dan membuat referensi.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan bisa diperoleh (salah satunya) dengan membaca buku. Jadi, tak ada keraguan untuk menambah wawasan dengan membaca buku.
Belakangan saya sangat “terharu” mengetahui minat membaca teman-teman saya yang masih rendah. Beberapa minggu silam saya iseng mengadakan survey tentang kebiasaan membaca buku di kalangan pelajar SMA dan mahasiswa. Hasilnya, wow! Sungguh mengecewakan. Jangankan membaca buku, melihat headline news koran saja mereka sudah tak sempat. Mereka lebih mengandalkan internet dan televisi untuk mendapatkan sumber berita ketimbang membaca buku dan menelaah isinya.
Efek visual memang lebih menarik minat mata-mata muda itu ketimbang huruf-huruf hitam yang tercetak di lembaran buku.
Kondisi ini sungguh berbeda dengan keadaan beberapa negara di belahan dunia yang lain. Saya memiliki beberapa teman dari luar negeri yang rajin berkorespondensi melalui email dan chatting dengan saya. Menurut mereka, membaca sudah bukan hal yang aneh lagi bagi mereka. Bahkan, perpustakaan pribadi sudah banyak terdapat di rumah-rumah perorangan. Seorang teman saya di Jepang bahkan mengirimkan beberapa foto yang menggambarkan kondisi dalam kereta menuju ke Shibuya. Di sana orang-orang dengan tekun membaca buku, tak peduli suasana kereta yang sedang penuh orang atau tidak. Menurut teman saya tadi, buku saku (alias buku berukuran kecil yang bisa dimasukkan ke dalam tas) laris manis di sana. Itu karena buku saku bisa dibawa ke mana-mana.
Sementara di (tak usah jauh-jauh, deh!) daerah saya sendiri, budaya membaca buku nyaris tak ada sama sekali. Perpustakaan daerah lebih banyak tutupnya ketimbang bukanya. Para pelajar lebih suka men-download data dari internet, untuk kemudian mem-paste-nya, sebagai tugas sekolah mereka. Orisinalitas karya patut dipertanyakan mengingat jarang dari mereka yang menulis dengan pikiran sendiri, melainkan lebih sering meng-copy paste data dari internet.
Yang lebih lucu lagi adalah alasan beberapa mahasiswa yang saya temui dan menjadi sumber survey saya. Mereka jarang membaca buku karena tak punya dana untuk membeli buku. Padahal setiap minggu mereka rajin hunting baju-baju mahal di toko baju. Sungguh suatu ironi. Apa untuk menjadi pintar kita harus membeli buku? Dan, apa harga sebuah buku sudah lebih mahal ketimbang harga sehelai rok dan kaos?
Memang tidak pada tempatnya jika saya men-judge mereka semua. Karena, resesi ekonomi yang berkepanjangan membuat setiap orang harus pintar-pintar mengatur keuangannya agar tak sampai kolaps dan kelaparan. Tapi, bukan berarti biaya hidup yang semakin tinggi lantas membuat kita lupa untuk menjadi pintar. Tak ada dana membeli buku bukan berarti lantas kita tak menggiatkan budaya gemar membaca buku.
Ada banyak solusi yang bisa dimunculkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui buku. Masalahnya adalah, apakah generasi muda tersebut mau dan dengan senang hati menerima solusi-solusi tersebut?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar