Rabu, 13 Januari 2010

Saat Adat Berbenturan dengan Syariah

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat sebuah undangan pernikahan dari seorang sahabat. Kebetulan, orang tua dari sahabat saya tersebut juga merupakan teman dari orang tua saya. Pada hari yang ditentukan, saya bersama ibu saya pergi memenuhi undangan dari sahabat yang tengah memiliki hajat pernikahan tersebut.
Pesta pernikahannya sendiri terbilang meriah. Menggunakan adat Jawa lengkap dengan berbagai prosesi yang rumit-rumit itu. Makanan yang terhidang di meja juga luar biasa mengenyangkan. Konsep pernikahan tradisional tersebut telah sukses menyulap sahabat saya menjadi sepasang raja dan ratu sehari.
Setelah resepsi selesai, iseng-iseng saya masuk ke dalam rumah. Keluarga kami memang sudah sangat dekat sehingga saya memiliki akses yang cukup besar untuk melenggang masuk ke dalam rumah tuan rumah. Hati saya seketika miris melihat kondisi rumah orang tua mempelai yang dijadikan tempat resepsi. Banyak makanan sisa yang dibuang begitu saja. Saat saya tanya ke orang dapur, mereka mengatakan jika makanan-makanan yang dibuang tersebut adalah makanan basi. Itu karena koki tidak memperhitungkan waktu memasak dengan waktu acara. Sehingga banyak makanan yang terbuang karena basi. Mungkin, pikir koki memasak sangat banyak jadi harus dilakukan jauh-jauh jam (undangan yang disebar dalam resepsi pernikahan sahabat saya itu memang mencapai hampir 1000 orang).
Saya semakin miris saat mengingat bahwa orang tua sahabat saya tersebut bukanlah termasuk golongan menengah ke atas. Untuk makan sehari-hari saja sudah sangat ngepres. Pastilah resepsi pernikahan itu memakan biaya yang lumayan besar. Darimana mereka mendapatkan uang?
Beberapa hari setelah pesta pernikahan selesai digelar, saya kembali bertemu dengan sahabat saya tersebut. Acara gojlokan dimulai karena mereka masih pengantin sangat baru. Kami ngobrol ngalor-ngidul sambil menikmati segelas jus alpukat dan sepiring brownies. Obrolan di siang hari tersebut mengalir lancar. Sampai sahabat saya tersebut memulai sesi curhatnya.
Ternyata, setelah pesta pernikahan yang meriah tempo hari, sahabat saya itu curhat jika sekarang, dia dan suaminya harus menanggung beban hutang yang lumayan besar. Usut punya usut, ternyata prosesi pernikahan yang menggunakan adat Jawa lengkap tersebut memakan banyak biaya. Mencapai belasan juta rupiah. Itu saja sudah harga diskon. Jadi, bisa dibayangkan berapa nominal rupiah yang harus dikeluarkan kedua mempelai jika biaya pernikahannya tidak didiskon.
Saya sempat bertanya, mengapa harus memaksakan diri menggunakan prosesi pernikahan adat Jawa – yang memang sudah jadi rahasia umum jika biayanya relatif mahal – jika memang kondisinya tidak memungkinkan. Maksud saya, bukankah sudah cukup hanya dengan ijab qabul dan menyelenggarakan acara makan-makan sederhana saja untuk merayakan pernikahan tersebut? Toh, resepsi bukanlah suatu hal yang wajib.
Jawaban sahabat saya sangat mencengangkan. Ternyata, kedua orang tua dari masing-masing mempelai yang kukuh ingin menggunakan prosesi adat untuk pernikahan anak mereka. Alasannya, itu tradisi. Pamali jika dilanggar.
Saya hanya tersenyum tipis mendengar keluhan sahabat saya. Orang menikah kan, memulai hidup baru. Kok, aku harus memulai dengan setumpuk hutang, ya?
Itu keluhan sahabat saya.
Saya setuju dengan pendapat sahabat saya yang berbau keluhan tersebut. Orang menikah adalah membuka sebuah babak baru kehidupan. Seyogyanya, awal yang baru tersebut dimulai dengan suatu hal kebaikan. Jangan dimulai dengan hutang. n_n
Dalam konteks Islam, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak diperbolehkan. Jika mau ekstrem, mubazir adalah teman setan. Itu semua karena sesuatu yang berlebihan mendatangkan lebih banyak mudharat (kerugian) ketimbang manfaat.
Melihat kasus sahabat saya di atas, banyak hal berlebihan yang terjadi dalam pernikahannya. Mungkin niat tuan rumah adalah baik. Ingin menghormati tamu sekaligus melestarikan adat-istiadat agar jangan sampai punah. Namun, menghormati tamu tidak harus dengan menyediakan makanan yang mewah dan dekorasi pelaminan yang megah, bukan?
Islam tidak menganjurkan hidup berlebihan. Termasuk dalam hal menikah. Tidak perlu memaksakan diri mengadakan sebuah pesta pernikahan yang megah dengan undangan mencapai ratusan orang, jika untuk itu kita harus berhutang. Apalagi, untuk membayar hutang tersebut, kita juga belum tahu darimana sumber dananya. Pokoknya, yang penting ambil barang dulu, soal bayar-membayar urusan paling belakang.
Namun, sangat sulit merubah pola pikir masyarakat Jawa tentang adat-istiadat. Padahal, kebanyakan adat dan tradisi mereka itu bertentangan dengan aturan Islam. Padahal lagi, mayoritas masyarakat Jawa adalah pemeluk Islam. Sungguh suatu hal yang sangat ironis.
Mungkin kita harus mengubah pola pikir kita. Bahwa yang disebut menikah itu adalah ijab qabul. Soal resepsi belakangan, yang penting semua orang sudah tahu jika kita telah menikah. Mempertahankan tradisi boleh selama kita tahu dan bertanggung-jawab atas penggunaan harta benda kita untuk prosesi adat-istiadat tersebut.
Jadi, jangan sampai setelah menikah, bukan doa barokah pernikahan yang kita terima. Melainkan cibiran orang-orang karena hutang kita yang menumpuk setelah kita “sukses” menggelar resepsi pernikahan yang megah.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Begitulah,sebenarnya adat haruslah mengikuti syariat,untuk kita yang memehami,usahakanlah generasi akan datang tidak menyalahkan generasi terdahulu karena ego. Jazakillah

Posting Komentar

Previous Post Next Post Back to Top