Rabu, 13 Januari 2010

Disiplin Membuang Sampah

Suatu hari di bulan Desember 2009, saya pergi ke sebuah mall elit di ibu kota Jawa Timur. Di sana saya tidak membeli apa-apa, hanya menemani saudara sepupu yang sedang kebelet window shopping dan berhasrat menggesek kartu kreditnya di beberapa butik ternama.
Puas berjalan-jalan, kami mampir ke franchise fastfood terkenal dunia. Membeli sepaket makanan Barat yang (sebenarnya) masih asing diterima oleh lidah Jawa saya. Maklum saja, biasa makan sambel terasi dan lalap daun singkon, eh, kok sok-sokan makan burger dan pizza.
Berhubung kami sedang tak ingin makan di tempat, maka kami memutuskan untuk menggerogoti sepotong demi sepotong burger sambil berjalan. Sangat tidak etis memang (DAN TIDAK LAYAK UNTUK DITIRU!!!). Tapi, sepupu saya ngotot masih pengen menorupsi waktu dengan berjalan-jalan memelototi etalase kaca.
Burger di tangan sudah habis. Saya tolah-toleh mencari tempat sampah. Busyet, dach! Mall seelit itu kenapa tempat sampah sebiji pun tak terlihat ekor mata? Akhirnya mau tak mau saya merelakan tas tangan saya jadi tempat sampah sementara, sampai saya menemukan tempat sampah “nyata” di luar mall.
Eh, lah dalah, kok ya, sepupu saya itu tiba-tiba nyeletuk, “Mbak, napa sampahnya ditaroh di tas? Buang aja lewat jendela.”
Shock juga saya mendengar saran sepupu saya. Melemparnya lewat jendela di tingkat tiga, di mana di bawahnya banyak orang berlalu-lalang dan tak ada tong sampah sebiji pun.
Dengan sabar, saya bilang pada sepupu saya, “Dek, nggak boleh, gitu. Entar kalo kena orang gimana? Lagian, buang sampah sembarangan bisa buat kotor jalan loh, Dek.”
“Halah, Mbak! Cuma sampah sebiji doang gitu, kuk?”
Well, teman, jika ada seribu orang yang berpikiran sama seperti sepupu saya tadi, sampah yang “hanya” sebiji doang itu bisa jadi seribu biji. Kalau sampah seribu biji itu jatuh di sungai, bisa membuat sungai jadi banjir. Jika banjir, maka banyak rumah dan harta benda yang terendam, belum orang-orang yang terkena penyakit. Jika banjir datang, niscaya anggaran daerah pemerintah setempat akan tersedot untuk perbaikan infrastruktur karena banjir dan pemberian dana bagi para korban banjir. Itu artinya, pajak yang sudah setengah hidup kita ikhlaskan ke pemerintah daerah, tidak bisa digunakan dengan maksimal untuk pembangunan daerah.
So, bisa dibayangin kan, betapa dahsyatnya efek dari “sebiji sampah”?
Mungkin teman-teman semua akan berpikir, “Ih, lebay, deh!” Tapi, penjelasan di atas sangat masuk akal, loh. Sekarang, coba telaah dengan hati dan pikiran yang jernih. Darimana datangnya banjir di kota-kota besar di Indonesia? Pasti permulaannya karena air sungai yang meluap. Lantas, bagaimana air sungai itu bisa meluap? Perhatikan deh, baik-baik. Pasti di sekitar sungai tersebut banyak sampah yang tidak “terorganisir” dengan baik.
Lantas, apa kita masih pantas menyalahkan pemerintah atas banjir yang datang setiap musim hujan tiba? Jika kesadaran kita untuk membuang sampah pada tempatnya saja masih sangat rendah.
Lantas, apa masih bisa ungkapan “Lebay” itu ditujukan pada orang-orang yang peduli masalah persampahan?
Anyway, mari mulai sekarang kita perbaiki disiplin diri kita. Membuang sampah pada tempatnya bukanlah sebuah jargon yang hanya digunakan untuk pajangan di tempat-tempat umum saja. Namun, itu juga mencerminkan kualitas diri kita sebagai bangsa Indonesia. Survey membuktikan, bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki tingkat disiplin tinggi dalam berbagai aspek kehidupan. Lihat saja Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Inggris, Perancis, dan Jerman.
Daripada sibuk menyalahkan siapapun, lebih baik mulai sekarang kita berbenah diri. Sudahkah kita turut berperan serta mencegah kerusakan lingkungan? Hanya membuang sampah pada tempatnya, Teman. Tidak lebih. Tapi, efek sampingnya sungguh luar biasa. Kota yang bersih dan bebas ancaman banjir pasti dapat kita wujudkan.
Ayo, buang sampah pada tempatnya. Tak usah pedulikan apa kata orang tentang kebiasaan kita ini. Dan, jangan berharap pamrih duniawi atas kebiasaan kita ini. Tindakan lebih dibutuhkan untuk Indonesia maju daripada berbagai kebijakan yang implementasinya hanya terucap lewat bibir manis saja.
(coretan kecil hasil liburan akhir tahun yang menyenangkan di kota Metropolis, Surabaya)

0 komentar:

Posting Komentar

Previous Post Next Post Back to Top